JOGJA: Departamen Dalam Negeri membantah tudingan paguyuban perangkat desa se-DIY Ing Sedya Memetri Aslining Ngayagyakarta (Ismaya) yang menyatakan telah melecehan aspirasi masyarakat Jogja dengan hanya mendengarkan pertimbangan Jurusan Ilmu Politik UGM (JIP) dalam menyusun draft RUUK, sementara aspirasi rakyat sama sekali tak digubris.
Bantahan itu diungkapkan pejabat Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Sukoco yang diutus untuk meleihat dari dekat pergolakan di tingkat akar rumput masyarakat Jogja. “Depdagri sama sekali tidak bermaksud mengesampingkan rakyat Jogja, kami datang ke sini untuk melihat dan akan kami sampaikan,” ujar dia menegaskan di hadapan ratusan perangkat desa yang hadir dalam rapat akbar memutuskan sidang rakyat penetapan Sultan HB X dan PA IX di kediaman Ketua Ismaya Mulyadi, Sidomulyo Godean, Jumat malam.
Menurut dia, masyarakat harus diyakinkan bahwa proses pengesahan undang-undang tidak 100% serupa dengan draft yang belakangan diwacanakan. Pemerintah kata dia, tak akan gegabah tanpa memandang segala aspek yang diperlukan.
Kata Sukoco, di tingkat parlemen nanti usulan pemerintah belum tentu disetujui, lagipula masih terbuka masukan-masukan dari berbagai pihak termasuk hasil pengumpulan infomasi di kalangan masyarakat Jogja.
Menanggapi hal itu, Mulyadi menyatakan pemerintah pusat semestinya tidak lagi bermain api dengan warga Jogja terkait keistimewaan dan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur. “Buat apa demokrasi milik orang-orang yang keminter, kita paham bahwa demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, yang dalam hal ini semua untuk warga Jogja,” tegasnya.
Pemerintah pusat, lanjut Mulyadi, tak perlu lagi menyibukkan diri untuk merubah tatanan perundangan yang sebetulnya sudah terakomodir dalam UU No 3 tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain permasalahan bangsa banyak yang belum terselesaikan, ini menunjukkan pemerintah yang tidak pernah belajar dari pengalaman mengingat polemik keistimewaan terus saja terjadi tiap lima tahunan.
“Bagi kami penetapan Sri Sultan HB dan Sri Paduka Paku Alam yang bertahta adalah harga mati. Kalau tidak bisa membuat UU yang mewadahi aspirasi rakyat ya sudah UU 3 Nomor 1950 diamandemen saja tapi harus sesuai dengan kehendak rakyat Jogja,” imbuhnya.
Ditemui Harian Jogja pada kesempatan yang sama, anggota DPRD DIY Heru Wahyu kiswoyo menyatakan bentuk dialog politik sebagaimana rapat akbar yang digelar oleh paguyuban perangkat desa menunjukkan respon masyarakat tak bisa ditawar-tawar lagi. Pemerintah pusat harusnya tanggap.
“Ini bentuk komunikasi politik yang ada di Jogja, inilah wujud keistimewaan yang ada masyarakt ambil peranan dalam keputusan politik keistimewaan. Meskipun prosesnya lama tapi inilah warga Jogja, yang memiliki bergaining politis,” ujar politisi.
Bantahan itu diungkapkan pejabat Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Sukoco yang diutus untuk meleihat dari dekat pergolakan di tingkat akar rumput masyarakat Jogja. “Depdagri sama sekali tidak bermaksud mengesampingkan rakyat Jogja, kami datang ke sini untuk melihat dan akan kami sampaikan,” ujar dia menegaskan di hadapan ratusan perangkat desa yang hadir dalam rapat akbar memutuskan sidang rakyat penetapan Sultan HB X dan PA IX di kediaman Ketua Ismaya Mulyadi, Sidomulyo Godean, Jumat malam.
Menurut dia, masyarakat harus diyakinkan bahwa proses pengesahan undang-undang tidak 100% serupa dengan draft yang belakangan diwacanakan. Pemerintah kata dia, tak akan gegabah tanpa memandang segala aspek yang diperlukan.
Kata Sukoco, di tingkat parlemen nanti usulan pemerintah belum tentu disetujui, lagipula masih terbuka masukan-masukan dari berbagai pihak termasuk hasil pengumpulan infomasi di kalangan masyarakat Jogja.
Menanggapi hal itu, Mulyadi menyatakan pemerintah pusat semestinya tidak lagi bermain api dengan warga Jogja terkait keistimewaan dan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur. “Buat apa demokrasi milik orang-orang yang keminter, kita paham bahwa demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, yang dalam hal ini semua untuk warga Jogja,” tegasnya.
Pemerintah pusat, lanjut Mulyadi, tak perlu lagi menyibukkan diri untuk merubah tatanan perundangan yang sebetulnya sudah terakomodir dalam UU No 3 tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain permasalahan bangsa banyak yang belum terselesaikan, ini menunjukkan pemerintah yang tidak pernah belajar dari pengalaman mengingat polemik keistimewaan terus saja terjadi tiap lima tahunan.
“Bagi kami penetapan Sri Sultan HB dan Sri Paduka Paku Alam yang bertahta adalah harga mati. Kalau tidak bisa membuat UU yang mewadahi aspirasi rakyat ya sudah UU 3 Nomor 1950 diamandemen saja tapi harus sesuai dengan kehendak rakyat Jogja,” imbuhnya.
Ditemui Harian Jogja pada kesempatan yang sama, anggota DPRD DIY Heru Wahyu kiswoyo menyatakan bentuk dialog politik sebagaimana rapat akbar yang digelar oleh paguyuban perangkat desa menunjukkan respon masyarakat tak bisa ditawar-tawar lagi. Pemerintah pusat harusnya tanggap.
“Ini bentuk komunikasi politik yang ada di Jogja, inilah wujud keistimewaan yang ada masyarakt ambil peranan dalam keputusan politik keistimewaan. Meskipun prosesnya lama tapi inilah warga Jogja, yang memiliki bergaining politis,” ujar politisi.
0 Response to "Depdagri bantah lecehkan aspirasi rakyat jogja"
Posting Komentar