Keistimewaan Jogja Hajad Dalem Sultan dan Paku Alam


Jogjakarta bergolak setiap menjelang berakhirnya masa jabatan gubernur DIJ. Suksesi tahta Mataram Hadiningrat sejak zaman Sultan Agung juga diwarnai pergolakan. Adakah kaitan sejarah silam itu dengan sekarang? Berikut pendapat DR. Purwadi,M.Hum, pakar sejarah Jawa kuno dan filsafat Universitas Negeri Jogjakarta.

Keistimewaan Jogjakarta, mencirikan adanya sebuah kekhasan dan keunikan yang sungguh berbeda dengan daerah lain. Keistimewaan itu meliputi banyak hal seperti sejarah, tradisi, kebudayaan, kesenian, sistem politik pemeritahannya dan banyak lagi. Unjuk rasa masyarakat Jogjakarta yang menuntut ditetapkannya Sultan Jogja dan Adipati Paku Alam yang jumeneng sebagai gubernur dan wakil guberur DIJ adalah hal paling pokok dalam keistimewaan Jogja. Namun, karena posisi gubernur terkait dengan yuridiksi kenegaraan, penetapan Sultan Jogja dan Adipati Paku Alam itu harus dibuatkan aturan mainnya. Demikian DR. Purwadi M.Hum mengatakan kepada posmo, saat ditemui di kediamannya belum lama ini.

Fakta tersebut juga menyiratkan banyak hal, yang menurut pengajar Filsafat Jawa UNY itu harus disadari dan dievaluasi oleh Sultan dan masyarakatnya serta pemerintahan pusat di Jakarta. Suksesi pemerintahan (gubernur) di Jogja yang selalu diwarnai pergolakan selama dua periode jabatan gubernur itu, menurut Purwadi adalah bukti tidak adanya perubahan dalam kurun waktu 10 tahun ini. Bahkan, bila dirunut sejarahnya, suksesi selalu diwarnai pergolakan sudah terjadi sejak zaman Sultan Agung. “Artinya, kita tidak pernah belajar dari sejarah”, tandasnya.

Suksesi yang diwarnai pergolakan massa di zaman sekarang dan di zaman raja raja Mataram Hadiningrat, membuktikan suksesi itu tak pernah disiapkan sejak dini. Menurut Purwadi, ini juga tampak jelas pada ontran ontran Keistimewaan DIJ yang selalu baru muncul menjelang berakhirnya masa jabatan gubernur DIJ. Bahkan, lanjut Purwadi, Sultan HB X juga belum terdengar menyiapkan calon pengganti raja Jogja. “Padahal, Sultan tak memiliki putra laki laki”, katanya.

Keadaan dalam kurun waktu 10 tahun di masa jabatan Sultan HB X sebagai gubernur DIJ, menurut Purwadi juga menujukkan kegagalan masyakarat Jogja mempertahankan keistimewaannya. “Jakarta menjadi tidak simpatik dan enggan mengurus keistimewaan Jogja. Apalagi, Sultan juga diindikasikan akan menjadi calon presiden, meski belum jelas dari partai mana dan bagaimana. Tapi dengan begitu, Sultan tak hanya dipandang sebagai raja Jogja dengan seluruh kebesaran dan wibawanya. Tapi, juga dipandang sebagai rival politik bagi Jakarta”, terang Purwadi.

Ngluruk Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake

Perihal tuntutan masyarakat Jogja terhadap dipertahankannya keistimewaan Jogja, Purwadi memandang posisi Jogja dan Jakarta tidak bisa setara. Menurutnya, Jogjakarta berada di bawah Jakarta. Sebab, Jogja sebagai peminta keistimewaan. Lepas dari peran sejarah di masa lalu, pemerintahan pusat Jakarta kini telah menjadi besar dibanding Jogja, dan memiliki kewajiban lebih besar untuk mempertimbangkan aspirasi seluruh rakyat Indonesia. “Pemerintah pusat Jakarta tidak bisa hanya mempertimbangkan Jogja saja, tapi juga harus mempertimbangkan daerah lain untuk mencegah potensi kecemburuan sosial di antara provinsi provinsi lain”, kata Purwadi.

Apakah dengan begitu, pemerintahan pusat sudah melupakan sejarah terbentuknya NKRI di mana Keraton Jogja berperan besar dalam kelahirannya? Pakar sejarah dan kebudayaan Jawa kuno itu mengatakan, perlu ada evaluasi dan saling intropeksi dari kedua pihak (Jogja dan Jakarta). Purwadi menilai, Sultan Jogja berkesan arogan terhadap pemerintahan pusat. “Seandainya Sultan mau menghadap presiden meminta penetapan dan keistimewaan DIJ, tentu masalahnya hanya tinggal diketok. Ini namanya ngluruk tanpo bolo, menang tanpo ngasorake (datang tanpa membawa prajurit, menang tanpa merendahkan lawan). Andhap asor”, terang Purwadi.

Menurut Purwadi, kewibawaan Sultan tidak akan berkurang dengan menghadap presiden di Jakarta. Bagaimana pun, presiden lebih tinggi dari gubernur. “Faktanya, Sultan menjadi gubernur itu karena ada SK presiden dan mendagri”, ujar Purwadi. Lantas, bagaimana dengan sikap Sultan yang menyerahkan persoalan keistimewaan DIJ kepada rakyat dan DPR pusat dan daerah, serta sikap beliau yang menunggu dipanggil presiden? “Itu namanya mengaburkan masalah”, tegas Purwadi.

Lebih lanjut Purwadi menerangkan, Sultan Jogja dan Paku Alam adalah pihak yang paling bersangkutan dalam masalah keistimewaan DIJ. Akan lebih realistis, menurut Purwadi, bila keistimewaan DIJ itu disebut sebagai Hajad Dalem Sultan HB X dan Paku Alam IX yang didukung rakyat. Bukan rakyat yang harus menyelesaikan. Bila keistimewaan DIJ diperoleh dengan cara cara demontrasi, artinya keistimewaan DIJ itu diperoleh dengan caci-maki dan kemarahan rakyat. Menurut Purwadi, ini menimbulkan penilaian Jogja sebagai dumeh atau arogan. Menurutnya lagi, ini juga berarti ada ketidak-harmonisan.

Dalam khasanah budaya Jawa, menurut Purwadi, ada sanepo dupak kuli, esem mantri, semu bupati, sasmita raja. Sanepo ini berkenaan dengan tata krama dalam menegur hasil kerja seseorang atau pejabat. Dupak kuli artinya menendang kuli. Cara ini diperuntukkan bagi kalangan masyarakat yang tingkat pemahamannya kurang, sehingga untuk menyadarkan terpaksa harus dengan cara cara kasar.

Esem mantri, artinya senyum pejabat setingkat mantri. Sanepo ini merujuk cara menegur seorang pejabat dengan cara halus, karena tingkat pemahamannya yang memenuhi. Semu bupati adalah cara menegur dengan perlambang, dan sasmita raja adalah cara seorang raja memberikan teguran atau apa pun dengan sasmita atau pertanda yang sangat halus, sehingga hanya bisa diperuntukkan bagi level raja atau pemimpin yang berintelektualitas dan kepekaan batin yang sangat tinggi.

Purwadi meyakini, keistimewaan DIJ sebenarnya akan tetap bisa dipertahankan. Namun, berkaca dari sanepo itu dan melihat realitas demontrasi dalam ontran ontran keistimewaan DIJ, Purwadi mengatakan bobot keistimewaan DIJ itu menjadi berkurang. Sebab, menurutnya, keistimewaan menjadi terkesan diperoleh dengan cara cara dupak kuli, yang tidak mencerminkan laku seorang raja. Lantas bagaimana cara yang seharusnya ditempuh? “Ngluruk tanpo bolo, menang tanpo ngasorake, yakni diplomasi oleh Sultan”, pungkas Purwadi.

0 Response to "Keistimewaan Jogja Hajad Dalem Sultan dan Paku Alam"