Candi Penataran


PENDAHULUAN

Nama Candi Penataran kiranya tidak asing lagi kedengarannya di telinga kita terutama bagi masyarakat Jawa Timur. Nama tersebut sudah begitu lekat dan akrab sehingga tidak jarang digunakan orang sebagai mana jalan, toko, depot, dan nama badan - badan usaha lainnya. Orang mempergunakan nama “ Candi Penataran” (yang kadang tanpa kata “candi” di depannya) barangkali di dorong oleh rasa kagum akan masa gemilang yang pernah dicapai oleh nenk moyang kita di masa lalu, sisa-sisa bekas kegemilangan itu masih dapat kita saksikan peninggalannya sampai sekarang. Dengan menggunakan nama ini diharapkan dapat membawa sukses besar pada pemakainya disamping untuk melestarikan nama yang mempunya nilai historis itu. Penggunaan nama Candi Penataran itu memang tidak salah pilih walaupun bagi Shakespeare tidak pernah ambil peduli apakah arti sebuah nama.
Candi Penataran yang terletak di sebelah utara Blitar adalah satu-satunya komplek percandian terluas di kawasan Jawa Timur, hampir sepanjang hari tidak pernah sepi pengunjung. Menurut catatan jumlah pengunjung umum rata-rata dalam satu bulan sekitar 20.000 sampai 25.000 orang, suatu jumlah yang tidak dapat dikatakan kecil sementara jumlah pengunjung candi-candi yang lain rata-rata dalam satu bulan sekitar 5.000 orang saja. Wisatawan - wisatawan asing yang datang di Jawa Timur dalam kunjungannya ke Blitartidak lupa menyempatkan diri berkunjung ke Candi Penataran. Kekunaan ini paling banyak di tulis orang, sumber inspirasi bagi para seniman, lahan yang lumayan bagi para penjaja makanan dan barang - barang cindera manta.

Sebagai suaka budaya yang dilundungi undang-undang, Candi Penataran tergolong dalam monumen mati (dead monument) artinya tidak ada kaitannya lagi dengan agama atau kepercayaan yang hidup dewasa ini. Bangunan percandiaan tidak lagi berfungsi sebagaimana sewaktu dibangun semula. Kontak yang terjadi antara pengunjung dan kekunaan adalah dalam rangka penikmatan seni dan budaya serta ilmu pengetahuaan. Candi tidak lagi sebagai tempat untuk ibadah dan bukan tempat semedi atau meditasi. Pemugaran-pemugaran candi yang telah memdapat perhatian pemerintah sejak Pelita II adalah dalam Rangka menyelamatkan bangunan dari kerusakan yang lebih fatal bukan untuk menghidupkan kembali tradisi lama.
Apabila karena sesuatu hal sebuah candi atau monument runtuh berarti kita telah kehilangan bukti sejarah yang autentik, kehilangan tersebut tidak akan dapat diganti oleh yang lain untuk selama-lamanya. Kini 500 tahun lebih telah berlalu, komplek percandian Penataran masih tegak berdiri di tempat semula dengan penuh keanggunan dan kemegahan siap menanti kunjungan anda setiap saat.

LOKASI

Candi Penataran terdaftar dalam laporan Dinas Purbakala tahun 1914 - 1915 nomor 2045 dan catatan Verbeek nomor 563. Bangunan kekunaan terdiri atas beberapa gugusan sehingga lebih tepat kalau disebut komplek percandian. Lokasi bangunan terletak di lereng barat daya Gunung Kelud pada ketinggian 450 meter di atas permukaan air laut, di suatu desa yang juga bernama Panataran, kecamatan Nglegok, Blitar. Untuk sampai di lokasi percandian dapat di tempuh dari pusat kota Blitar ke arah utara yaitu kejurusan Makam Proklamator Bung Karno. Jarak dari kota sampai lokasi diperkirakan 12 km, jalan mulus beraspal dan dapat ditempuh dengan berbagai jenis kendaraan. Apabila di tempuh dari kota Blitar, setelah perjalanan mencapai 10 km, sampailah kita di pasar Nglegok, kemudian di teruskan sampai pasar desa Panataran. Disini jalan bercabang dua, yaitu belok ke kanan menuju desa Modangan sedangkan yang belok kekiri menuju yakni jalan menuju ke barat adalah langsung menuju ke percandian. Dari pertigaan pasar Panataran sampai ke lokasi hanya tinggal 300 m.
Bagi pengunjung yang datang dari malang tidak perlu masuk sampai kota, sebab dapat ditempuh dari pertigaan desa Garum belok kanan sejauh ± 5 km sudah sampai lokasi. Hanya fasilitas jalannya tidak terlalu lebar.

RIWAYAT PENEMUAN

Semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit yang kemudian di susul dengan masuknya agama Islam, banyak bangunan suci yang berkaitan dengan agama Hindu / Budha begitu saja di tinggalkan oleh masyarakat penganutnya. Lama-lama bangunan-bangunan suci yang tidak lagi dipergunakan itu di lupakan orang-orang karena masyarakat sebagian besar telah berganti kepercayaan. Akibatnya bangunan tersebut menjadi terlantar tidak ada lagi yang mengurusnya, pada akhirnya tertimbun longsoran tanah dan semak semak belukar. Yang nampak adalah puing - puing berserakan di sana sini. Ketika daerah ini berkembang menjadi pemukiman keadaannya menjadi lebih parah lagi. Batu - batu candinya di bingkar orang dari susunannya untuk keperluaan alas bangunan rumah atau pengeras jalan, sedangkan batu bata yang di tumbuk untuk dijadikan semen merah. Sejumlah batu-batu berhias dan juga arca-arca di ambil oleh sinder - sinder perkebunan. Keadaan yang menyedihkan ini berlangsung cukup lama, sampai datangnya para peneliti pada sekitar permulaan abad XIX. Dengan keahlian yang dimilikinya mulailah para peneliti itu mengadakan rekonstruksi dan pemugaran.
Demikian juga keadaan komplek percandian Panataran dimasa lalu. Candi Penataran di temukan pada tahun 1815 tetapi sampai tahun 1850 belum banyak di kenal. Penemunya adalah Sir Thomas Stamfort Raffles (1781 - 1826), letnan gubernur jendral kolonial Inggris yang berkuasa di negara kita pada waktu itu.
Raffles bersama dengan Dr. Horsfield seorang ahli Ilmu Alam mengadakan kunjungan ke Candi Penataran, hasil kunjungannya di bukukan dalam bukunya yang cukup terkenal “History of Java” yang terbit dalam dua jilid. Jejak raffles ini kemudian di ikuti oleh para peneliti lainnya: J. Crawfurd seorang asisten residen di Yogyakarta, selanjutnya van meeteren Brouwer (1828), Junghun (1844), Jonathan Rigg (1848) dan N.W. Hoepermans yang pada tahun 1866 mengadakan inventarisasi di komplek percandiaan Penataran. Pada tahun 1867 Andre de la Porte bersama dengan J. Knebel seorang asisten residen mengadakan penelitian atas Candi Panataran dan hasil penelitian di bukukan dalam bukunya yang terbit 1900 yang berjudul “De ruines van Panataran”.
Dengan berdirinya badan resmi kepurbakalaan yang pada waktu itu bersama Oudheidkundige Dienst (biasa di singkat OD) pada tanggal 14 - 06 - 1913 maka penanganan atas candi Penataran menjadi lebih intensif. Pada saat ini bersama dengan peninggalan kuno yang lainyang berada di Jawa Timur, Pemeliharaan, Perlindungan, Pemugaran dan sebagainya atas Candi Penataran berada di tangan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur yang berkantor pusat di Trowulan, Mojokerto.

SUSUNAN UMUM KOMPLEK PERCANDIAN

Dalam garis besarnya susunan umum komplek percandian Penataran dapat diuraikan sebagai di bawah ini.
Menurut catatan bangunan kekunaan menempati areal tanah seluas 12.946 m2 berjajar dari barat laut ke timur kemudian berlanjut ke bagian tenggara. Seluruh halaman komplek percandian kecuali halaman yang berada di bagian tenggara di bagi-bagi (disekat) oleh dua jalur dinding yang melintang dari arah utara ke selatan sehingga membagi halaman komplek percandian menjadi tiga bagian yang untuk mudahnya yang berturut-turut akan di sebut sebagai: halaman A untuk halaman I, halaman B untuk halaman II, dan halaman C untuk halaman III. Pembagian halaman komplek percandian menjadi tiga bagian adalah berakar pada kepercayaan lama nenek moyang kita. Sebagian dapat diamati oleh peta situasi, halaman B masih di bagi lagi oleh dinding yang membujur arah timur - barat sehingga membagi halaman B menjadi dua bagian. Apakah halaman B ini dahulu tertutup oleh tembok keliling belum di ketahui dengan pasti sebab kini yang tinggal hanya pondasi - pondasinya saja. Begitu juga tembok keliling komplek percandian sudah sejak lama runtuh, yang nampak sekarang adalah bagian pagar tanaman hidup yang berfungsi sebagai batas pagar keliling kekunaan. Tembok keliling dan dinding penyekat terbuat dari bahan bata merah, sehingga karena perjalanan waktu yang cukup lama menyebabkan keruntuhannya.
Susunan komplek percandian Penataran memang menarik karena letak bangunan yang satu dengan yang lain berhadap-hadapan terus ke belakang yang sepintas kelihatannya agak membingungkan. Susunan bangunan mirip dengan susunan bangunan pura yang ada di Bali. Dalam susunan seperti ini di bagian halaman yang terletak paling belakang adalah yang paling suci karena di sini terdapat bangunan pusatnya atau bangunan induknya. Juga di Bali tempat bagi dewa - dewa berada di bagian candi yang paling belakang yakni bagian yang paling dekat dengan gunung. Di Jawa Timur perwujudan dalam bentuk bangunan berupa bangunan candi yang berteras-teras dengan susunan makin ke atas makin kecil yang di sebut punden berundak. Pintu masuk ke halaman komplek percandian yang sementara ini juga berfungsi sebagai pintu keluar terletak di bagian barat. Dengan menuruni tangga masuk yang berupa undak-undakan sampailah kita di ruang tunggu tempat pengunjung mendaftarkan diri sebelum masuk halaman komplek percandian. disini terdapat dua buah arca penjaga pintu (Dwaraphala) yang di kalangan masyarakat Blitar di kenal dengan sebutan “Mbah Bodo” yang menarik dari kedua arca penjaga ini bukan karena ukurannya yang besar dan wajahnya yang menakutkan (daemonis) tetapi pahatan angka tahun tertulis dalam huruf Jawa Kuno: tahun 1242 Saka atau kalau di jadikan mesehi (ditambah 78 Tahun) menjadi 1320 Masehi.

Berdasarkan pahatan angka tahun yang terdapat pada kedua lapik arca penjaga tersebut para sarjana berpendapat bahwa bangunan suci Pala (nama lain untuk candi penataran) di resmikan menjadi kuil negara (state temple) baru pada jaman Raja Jayanegaradari Majapahit yang memerintah pada tahun 1309 - 1328 AD. Di sebelah timur kedua arca penjaga di tempat yang tanahnya agak tinggi terdapat sisa-sisa pintu gerbang dari bahan bata merah. Pintu gerbang tersebut masih di sebut-sebut Jonathan Rigg dalam kunjungannya ke candi Penataran pada tahun 1848. Dengan melalui bekas pintu gerbang ini sampailah kita ke bagian terdepan halaman A. Disini masih dapat disaksikan sekitar 6 buah bekas bangunan yang hanya tinggal pondasinya saja itu terbuat dari bahan batu bata merah. Melihat banyaknya umpak - umpak batu yang tersisa di sini dapat diduga bahwa dahulu terdapat bangunan - bangunan yang menggunakan tiang kayu seperti yang dapat kita jumpai di Bali. Berapa banyak bangunan yang menggunakan tiang - tiang kayu belum dapat diketahui dengan pasti.
bangunan -bangunan penting yang terletak di halaman A adalah sebuah bangunan yang berbentuk persegi panjang yang disebut dengan nama “Bale Agung”, kemudian bangunan bekas tempat pendeta yang hanya tinggal tatanan umpak-umpak saja, sebuah bangunan berbentuk persegi empat dalam ukuran yang lebih kecil dari bangunan bale agung yang di sebut dengan nama “pendopo teras” atau “batur pendopo” dan bangunan yang berupa candi kecil berangka tahun yang di sebut candi Angka tahun. Bangunan - bangunan tersebut seluruhnya terbuat dari batu andesit.
Menurut halaman B juga melewati sisa-sisa bekas pintu gerbang yang bagian depannya di jaga oleh dua buah arca dwarapala dalam ukuran yang lebih kecil. Kedua arca dwarapala ini pada lapik arca nya juga terpahat angka tahun, tertulis tahun 1214 Saka atau 1319 Masehi. Peristiwa apa yang dikaitkan dengan angkat tahun ini belum diketahui. Di Halaman B masih dapat di saksikan sekitar 7 buah bekas bangunan, ada bangunan yang terbuat dari bahan bata merah dan ada juga bangunan yang terbuat dari bahan batu andesit. Dari ketujuh buah bekas bangunan tersebut enam buah diantaranya sudah tidak dapat dikenali lagi bentuknya. Satu satunya bangunan yang cukup di kenal adalah Candi Naga, di sebut demikian karena sekeliling tubuh bangunan tersebut di lilit ular Naga. Bangunan Candi Naga seluruhnya terbuat dari batu andesit.
Halaman terakhir adalah halaman C, di situ juga terdapat bekas pintu gerbang yang bagian depannya di jaga oleh dua buah arca dwarapala. Ada sekitar 9 buah bekas bangunan, dua buah yang sudah dapat dikenali adalah bangunan candi induk, tujuh bangunan yang lain sementara ini belum terungkapkan.
Disebelah selatan bangunan candi masih berdiri tegak sebuah batu prasasti atau batu bertulis. Melihat besarnya ukuran batu prasasti ini para ahli menduga batu tersebut masih berada di tempat aslinya. Prasasti menggunakan huruf jawa kuno bertahun 1119 Saka atau 1197 Masehi di keluarkan oleh Raja Srengga dari kerajaan Kediri. Karena isinya antara lain menyebutkan tentang peresmian sebuah perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Palah maka para sarjana berpendapat bahwa yang dimaksud Palah tentunya tidak lain adalah Penataran. Andaikata dapat dibenarkan bahwa Palah adalah Candi Penataran sekarang maka usia pembangunan komplek percandian Penataran memakan waktu sekurang-kurangnya 250 tahun. di bangun dari 1197 Masehi pada jaman kerajaan Kediri sampai tahun 1454 pada jaman kerajaan Majapahit. Hampir semua bangunan yang dapat kita saksikan sekarang berasal dari masa pemerintahan raja-raja Majapahit. Barangkali bangunan-bangunan yang lebih tua (dari jaman Kediri) telah lama runtuh.
Masih ada dua bangunan lain yang letaknya di luar komplek percandian tentunya masih ada hubungannya dengan komplek percandian Penataran secara keseluruhan. Bangunan tersebut berupa sebuah kolam berangka tahun 1337 Saka atau 1415 Masehi yang terletak di sebelah tenggara dan sebuah kolam lagi (Petirtaan) dalam ukuran yang agak besar terletak kira-kira 200 m ke arah timur laut komplek percandian.

0 Response to "Candi Penataran"