Ajang China Masters Super Series yang berselang hanya seminggu setelah Jepang Super Series ternyata kurang menarik minat banyak atlit. Pendaftar China Masters kurang lebih hanya dua-pertiga dari jumlah pendaftar Jepang Super Series. Indonesia termasuk yang rajin mengirim atlit dari sejak Taipei Terbuka, Jepang Super Series, lalu China Master Super Series.
Minimnya peminat China Masters yang sedianya dihelat pada tanggal 23-28 September 2008 terlihat dari absennya atlit-atlit negeri ginseng yang adalah salah satu negara adidaya bulutangkis. Selain itu, Denmark dan Inggris juga sama sekali tidak mengirim atlit untuk berlaga di sektor ganda yang menjadi salah satu kekuatan mereka. Alhasil hanya ada 43 pasangan dari sembilan negara yang akan berlaga di tiga sektor ganda: putra, putri, dan campuran. Bahkan di sektor ganda putri hanya ada 10 pasangan yang akan berlaga.
Bandingkan dengan Jepang yang bergelimang atlit. Di turnamen yang dimulai esok, 16 September 2008, kedua partai tunggalnya melebihi kuota 32 atlit sehingga harus diadakan babak kualifikasi. Dari partai ganda, total ada 77 pasangan yang berlaga di tiga partai, datang dari 13 negara – termasuk Denmark dan Inggris yang absen di China Masters.
Apa yang menyebabkan ketimpangan tersebut?
Dari sisi gelimang hadiah pemenang, kedua turnamen sama-sama berhadiah total US$200.000. Level turnamen sama-sama elit, Super Series. Apakah disebabkan oleh lokasi pertandingan dimana Jepang mengadakan di kota besar, Tokyo, sedangkan Tiongkok mengadakannya di Changzhou, provinsi Jiangsu yang namanya kurang terdengar? Apakah benar-benar hanya karena itu?
Dan misalnya pun beberapa negara memutuskan untuk mengikuti hanya satu turnamen saja karena terlalu berdekatan, mengapa Jepang Terbuka yang dipilih?
Belum ada rilis maupun penjelasan resmi mengenai hal ini, tetapi yang sama-sama dialami oleh kedua turnamen adalah dikirimnya atlit-atlit pelapis dan yunior yang sedikit-banyak membuat kedua turnamen seakan hanya sekelas Grand Prix. Di Jepang Terbuka, cukup banyak atlit kelas kakap yang akhirnya mundur; juga dengan alasan yang masih mengambang.
Kabar Baik bagi Indonesia
Walaupun terasa lesu, tetapi bagi Indonesia hal tersebut menjadi keuntungan tersendiri. Selain persaingan menjadi lebih longgar karena absennya pemain-pemain papan atas, bagi pasangan baru dan para pelapis, ajang ini menjadi ajang pemanasan yang baik.
Lihatlah di ganda campuran. Flandy Limpele/Vita Marissa dan Muhammad Rijal/Greysia Polii bertukar pasangan. Tidak masalah, karena harapan juara tetap bergantung pada pasangan nomor satu dunia, Nova Widianto/Lilyana Natsir.
Ganda putra di kedua turnamen juga diharapkan membawa hasil terbaik dengan mantapnya tim merah-putih yang juga termasuk pasangan juara Olimpiade Beijing 2008, Markis Kido/Hendra Setiawan.
Pasangan ganda putri baru, Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari juga diharapkan melaju mulus. Merekalah satu-satunya pasangan rombakan baru yang dikirim ke Jepang dan Tiongkok – membuktikan besarnya harapan PBSI terhadap mereka. Mereka ditemani oleh ganda putri utama Indonesia, Vita Marissa/Lilyana Natsir.
Tetapi PBSI cukup sigap melaksanakan strategi membangun mental atlit-atlit Indonesia. Simon Santoso dan semua atlit tunggal putri Indonesia ‘dikandangkan’ setelah berlaga di Tokyo. Bisa jadi PBSI ingin memastikan kepercayaan diri mereka sudah mantap sebelum yakin untuk berlaga di tanah Tiongkok yang memang santer.
Berat atau tidak, turnamen internasional tetap baik untuk melatih mental dan memupuk pengalaman para atlit. Hanya saja PBSI perlu berhati-hati karena Tiongkok sudah mulai mengedepankan pemain yunior dan pelapisnya di kedua turnamen elit ini – merekalah harapan tonggak utama Tiongkok di Olimpiade London 2012.
Bagaimana dengan Indonesia? Tentunya kita tidak ingin terus bergantung sepenuhnya pada senior yang sama bukan?
Minimnya peminat China Masters yang sedianya dihelat pada tanggal 23-28 September 2008 terlihat dari absennya atlit-atlit negeri ginseng yang adalah salah satu negara adidaya bulutangkis. Selain itu, Denmark dan Inggris juga sama sekali tidak mengirim atlit untuk berlaga di sektor ganda yang menjadi salah satu kekuatan mereka. Alhasil hanya ada 43 pasangan dari sembilan negara yang akan berlaga di tiga sektor ganda: putra, putri, dan campuran. Bahkan di sektor ganda putri hanya ada 10 pasangan yang akan berlaga.
Bandingkan dengan Jepang yang bergelimang atlit. Di turnamen yang dimulai esok, 16 September 2008, kedua partai tunggalnya melebihi kuota 32 atlit sehingga harus diadakan babak kualifikasi. Dari partai ganda, total ada 77 pasangan yang berlaga di tiga partai, datang dari 13 negara – termasuk Denmark dan Inggris yang absen di China Masters.
Apa yang menyebabkan ketimpangan tersebut?
Dari sisi gelimang hadiah pemenang, kedua turnamen sama-sama berhadiah total US$200.000. Level turnamen sama-sama elit, Super Series. Apakah disebabkan oleh lokasi pertandingan dimana Jepang mengadakan di kota besar, Tokyo, sedangkan Tiongkok mengadakannya di Changzhou, provinsi Jiangsu yang namanya kurang terdengar? Apakah benar-benar hanya karena itu?
Dan misalnya pun beberapa negara memutuskan untuk mengikuti hanya satu turnamen saja karena terlalu berdekatan, mengapa Jepang Terbuka yang dipilih?
Belum ada rilis maupun penjelasan resmi mengenai hal ini, tetapi yang sama-sama dialami oleh kedua turnamen adalah dikirimnya atlit-atlit pelapis dan yunior yang sedikit-banyak membuat kedua turnamen seakan hanya sekelas Grand Prix. Di Jepang Terbuka, cukup banyak atlit kelas kakap yang akhirnya mundur; juga dengan alasan yang masih mengambang.
Kabar Baik bagi Indonesia
Walaupun terasa lesu, tetapi bagi Indonesia hal tersebut menjadi keuntungan tersendiri. Selain persaingan menjadi lebih longgar karena absennya pemain-pemain papan atas, bagi pasangan baru dan para pelapis, ajang ini menjadi ajang pemanasan yang baik.
Lihatlah di ganda campuran. Flandy Limpele/Vita Marissa dan Muhammad Rijal/Greysia Polii bertukar pasangan. Tidak masalah, karena harapan juara tetap bergantung pada pasangan nomor satu dunia, Nova Widianto/Lilyana Natsir.
Ganda putra di kedua turnamen juga diharapkan membawa hasil terbaik dengan mantapnya tim merah-putih yang juga termasuk pasangan juara Olimpiade Beijing 2008, Markis Kido/Hendra Setiawan.
Pasangan ganda putri baru, Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari juga diharapkan melaju mulus. Merekalah satu-satunya pasangan rombakan baru yang dikirim ke Jepang dan Tiongkok – membuktikan besarnya harapan PBSI terhadap mereka. Mereka ditemani oleh ganda putri utama Indonesia, Vita Marissa/Lilyana Natsir.
Tetapi PBSI cukup sigap melaksanakan strategi membangun mental atlit-atlit Indonesia. Simon Santoso dan semua atlit tunggal putri Indonesia ‘dikandangkan’ setelah berlaga di Tokyo. Bisa jadi PBSI ingin memastikan kepercayaan diri mereka sudah mantap sebelum yakin untuk berlaga di tanah Tiongkok yang memang santer.
Berat atau tidak, turnamen internasional tetap baik untuk melatih mental dan memupuk pengalaman para atlit. Hanya saja PBSI perlu berhati-hati karena Tiongkok sudah mulai mengedepankan pemain yunior dan pelapisnya di kedua turnamen elit ini – merekalah harapan tonggak utama Tiongkok di Olimpiade London 2012.
Bagaimana dengan Indonesia? Tentunya kita tidak ingin terus bergantung sepenuhnya pada senior yang sama bukan?
0 Response to "China Masters Kalah Pamor dari Jepang Terbuka"
Posting Komentar